Blog yang Membahas Materi dan Soal-Soal Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Tingkat SMP dan SMK

CONTOH CERPEN REMAJA "KETIKA SOSOK ITU DATANG"

Contoh Cerpen Remaja

KETIKA SOSOK ITU DATANG
Oleh Mike Azminatul Khayatika


Suasana malam yang sunyi dan dingin. Bintang-bintang bertaburan, bulan tampak berseri memancarkan sinarnya. Menggoda setiap mata memandang. Sedikit luka telah sirna oleh situasi alam yang menenangkan jiwa.

Langkah demi langkah kian pasti melangkah maju sampai di halaman depan rumah. Sekejap bayangan itu telah tiada. Sekilas wujudnya tampak asli di penglihatan, namun samar-samar bayangan itu kabur.
“Oh, Tuhan… haruskah  aku selalu terbayang wajahnya hingga aku tak tahu apa yang terjadi pada diriku ini?” Ujar Vania dalam benak.
Kutatap dalam-dalam hingga ujung pusara sampai mata ini tak menjangkau luasnya dunia. Pandangan ini hanya sampai pada hamparan sawah, bukit yang tampak gelap gulita. Semua hanya terlihat titik-titik lampu di ujung sana.
Hanya sendiri berdiri di tepian tebing rumah. Terlihat lereng-lereng pegunungan yang terjal. Sekejap teringat pada suatu peristiwa yang tak terlupakan, di mana kutemukan kembali sosok sahabat ketika SMP dulu. Sekarang berubah menjadi sosok pria dewasa yang berwibawa, bertubuh tegap, dan gaya bicaranya sungguh tegas.
Entah mengapa terbesit dalam diri untuk mengingat masa-masa nostalgia sekolah dulu. Ketika sikapku yang angkuh, yang selalu mengejeknya di belakang kelas, menjaili dia sampai terkadang dia malu dibuatku, saat aku meledek dia ketika dia diolok-olok teman laki-laki.
Semua peristiwa tempo dulu seakan-akan menjadi rekaman yang didokumentasikan di dalam memori, dan sekaranglah kuputar rekaman itu. tampak jelas kubayangkan kenangan dulu. Sekarang tak kusadari rekaman itu telah kuputar hingga membuatku tak mengerti dengan perasaanku saat ini.
“Kusadari atau tidak, waktu telah berlalu. Melewati tahun demi tahun yang cukup panjang, tapi kenapa tiba-tiba kumengingatnya setelah acara reuni kala itu??” Kata Vania dalam kebimbangan hati yang tak tentu arah. Hatinya terus bergumam.
Lama Vania berdiri memandangi lingkungan yang penuh kedamaian. Tak disadari selama itu telah dihabiskan untuk mengenang masa lalu. Masa-masa sekolah saat dia duduk di bangku SMP.
“Hufttt, kenapa dia, dia, dan dia yang harus hadir dalam kenangan itu? Kenapa dia lagi? Kenapa harus dia?” Hati Vania bergejolak dan bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
Dalam rangkaian ingatanku akan tentang kisah cerita SMP, hanya dia yang selalu hadir dalam kenangan silam. Dia adalah sosok sahabat kecilku yang hadir tatkala aku tak mempedulikannya.
Ya, tak peduli.. entah apa yang membuatku tak acuh atau tak peduli padanya. Aku memang terkesan cuek ketika itu. mungkin karena sikapnya ynag cupu, pendiam, enggan bergabung atau membaur dengan teman-teman.
Yang kulihat waktu itu dia hanya berteman dengan itu-itu saja, kadang dia juga tidak proaktif saat proses pembelajaran di kelas atau yang membuatku kurang suka dengan dia adalah sikapnya yang selaluy mencampuri urusanku. Selalu bertanya masalah pelajaran. Apalagi dia anak yang pendiam.
Dulu aku anak yang malas belajar. Jadi, wajar saja jika ada teman yang membahas pelajaran, pasti hati ini sudah tidak nyaman bahkan aku tak segan-segan untuk tak peduli dengan mereka yang sedang membahas pelajaran..
“Kenapa perasaanku menjadi kacau seperti ini? Kenapa setelah kubertemu dengannya, hati ini menjadi resah. Oh Tuhan, aku tak mengerti dengan kondisi hatiku saat ini. Ingan Vania, ingat dia hanyalah sosok semu dari masa lalu yang hadir menghampiriku pada masa sekarang,” ujar dalam benaknya.
***
Suatu hari yang penuh makna berharga buatku sendiri. Mungkin orang lain yang ada dalam situasi menyenangkan itu, tidak merasakan seperti apa yang kurasakan saat itu.
Hari raya Idul Fitri tahun kemarin adalah salah satu kenangan yang mengesankan. Berjumpa dan berkumpul dengan saudara-saudara, bersillaturrahmi dengan tetangga dekat, tokoh masyarakat, dan acara yang menggugah kisah lama sewaktu SMP adalah Reuni dan Halal Bi Halal rekan-rekan alumnus SMP.
Senang bukan main, bercampur rasa malu yang selalu menggelayuti diri ini tatkala mendapat undangan Reuni alumnus SMP. Bayangan akan masa silam sekilas terlintas di benak. Rasa haru ingin cepat menghadiri acara tersebut. Tak sabar hati ini ingin rasanya temu kangen dan bercengkrama dengan mereka kembali. Ingin tahu bagaimana kabar mereka sekarang? Sudah 5 tahun lamanya tak berkumpulbersama dengan mereka.
“Vania, aku kemari ingin bersillaturrahmi sekaligus memberikan undangan reuni alumnus SMP. Kamu hadir yah. Kami sangat senang jika kamu ikut berpartisipasi untuk meriahkan acara tersebut,” kata kedua temanku itu, Rifqi dan Hisyam.
“Wah, aku sangat senang kalian bisa berkunjung ke rumah ini. Apalagi membawa berita yang buatku senang. Insya Allah aku hadir di acara tersebut. Hari apa pelaksanaannya?” Ujarku pada mereka.
“Hari Kamis depan..,” jawab mereka.
Panjang lebar aku dan mereka bercerita tentang kabar guru-guru, teman-teman, dan menceritakan pengalaman aku dan mereka setelah lulus sampai sekarang. Masing-masing member warna dalam situasi yang hanya terjadi mungkin satu tahun sekali. Itu pun jika ada suatu acara, kalau tida mereka tidak akan pernah datang kemari.
Sudah lama pembicaraan mereka. Cerita mereka berakhir pada topic lain yakni tentang seseorang yang jika disebut namanya, hati Vania seakan-akan entah mengapa menjadi tidak enak. Tak bisa dijelaskan melalui kata-kata. Mendengar nama dia, buatku tak asing lagi. Namun, aku lupa raup wajahnya, postur tubuhnya, yang aku ingat hanyalah sikapku yang tak acuh, cuek dan kadang mengejeknya.
“O ya Vania, kamu masih ingat Fariz?” Kata Hisyam sebelum mengakhiri pembicaraan.
“Hmmm… aku kaget lho Vania ketika mendengar kabar dia dari temenku. Katanya dia sedang menempuh pendidikan kemiliteran di Jakarta,” sahut Rifqi menyambung pembicaraan Hisyam.
“Hust..yang benar kamu Rifqi? Ah, kamu itu kebiasaan lama. Masih sama seperti dulu, suka ngawur sama gak pernah serius kalau bicara sesuatu. Nanti juga ujung-ujungnya bercanda. Heheheee,” ujar Vania.
“Heee kamu masih ingat saja toh Vania? Rifqi kadang-kadang juga masih seperti dulu. Cuma bedanya, sekarang dia sudah sedikit kalem,” sambung Hisyam.
“Wah, wah, kalian bisa saja. Heee serius Vania. Kali ini aku tidak bercanda. Tanya saja sama Hisyam kalau kamu tidak percaya apa yang aku katakan tadi. Dia juga dengar sendiri. Ya kan Hisyam?,” kata Rifqi untuk memastikan kebenaran apa yang dia katakan.
“Rifqi memang benar, Vania. Aku juga tadinya kaget dan terkejut, tapi rasa itu menjadi sirna ketika aku dengan Rifqi mengantar undangan ini pada Fariz. Uihh,, subhanallah banget dengar cerita singkat perjalanan hidupnya hingga terjun ke dunia militer. Jadi pangling aku berjumpa dengannya,” kata Hisyam.
“Jadi Fariz sekarang sudah jadi TNI? Maksud kamu prajurit TNI kan? Sekarang dia dinas di mana?” Tanyaku dengan sedikit rasa penasaran.
“Ya benar Vania, tapi Fariz masih menempuh pendidikan dan pelatihan kemiliteran. Katanya kurang enam bulan lagi. Dia di Angkatan Darat. Kenapa hayo? Kamu iri atau terkejut hayo?? Heee,” kata Rifqi menjawab rasa penasaranku.
“Aku sebagai teman ikut senang sekaligus terkejut mendengar kabar bahagia itu. Anak seperti dia ternyata bisa membuktikan pada dunia bahwa dia bisa menjadi orang sukses. Dia saja bisa, kenapa kita enggak?? Kita pasti bisa kalau ada niat dan usaha untuk maju,” ujar Vania.
“Kita setuju Vania, dia yang berasal dari daerah pinggiran saja bisa.apalagi dia tidak seberuntung kita, tapi nasibnya lebih beruntung dari kita. Heheh.. Memang kita sebagai manusia tidak boleh meremehkan hal kecil. Terkadang hal yang kita anggap kecil dan sepele malah menjadi besar. Kita jangan mau kalah. Makanya kita kuliah yang benar, rajin, dan tekun biar lulus bisa jadi orang sukses. Amin,” kata Hisyam memberi semangat pada makhluk yang sedang bercengkrama di ruang tamu.
“Amin.. kamu memang benar,” sahut Vania dan Rifqi.
“Hmm…tapi yang jadi penasaranku, bagaimana jadinya jika vania bertemu dan bertatap muka langsung dengan Fariz?? Ada yang lagi galau nih rupanya. Pasti yang di depanku ini lagi menyusun strategi biar gak grogi kalau ketemu dia. Hahah,” sambung Rifqi yang melirik ke arah Vania dengan kelakar yang menjadi ciri khasnya.
“Lhoh, lhoh, kok jadi aku yang kena. Ya aku tahu, dulu aku suka ngremehin dia, cuek sama dia, bahkan gak mau tahu tentang dia. Apalagi aku suka mengejek di belakang dia, tapi itu kan dulu, waktu usia remaja, kaya kalian gak kaya gitu. Kalau sekarang kan sudah sama-sama dewasa. Masa iya sih tega buat bersikap seperti itu padanya. Dia sudah jadi prajurit, takut sendiri nanti ditembak gas air mata lagi. Hahahaa,” ujar Vania membela diri dengan nada yang sedikit kocak.
“Alah, paling juga kamu bilang seperti itu karena menutupi rasa malu kamu. Apalagi kesuksesan dia sudah terlihat di depan mata. Kalau sudah selesai pendidikan itu, dia sudah jelas jadi tentara. Ya kan, jawab jujur saja? Paling-paling juga kalau dia belum seperti ini juga kau akan bersikap seperti dulu. Hehehe.. bukan maksud aku bagaimana,Van. Ini fakta kok. Kita udah kenal kamu lama. Sejak SD sampai SMP bersama-sama. Cuma ruang dan waktu yang kurang berpihak pada jalinan persahabatan kita,” kata Rifqi.
“Ya..ya aku tahu. Dulu aku jahat banget sama dia. Mungkin dia tidak sadar akan sikapku. Aku juga sadar diri dulu aku benar-benar kacau sekali. Makanya sekarang aku berusaha buat berubah. Aku juga sedikit kasihan bahkan menyesal sudah bersikap demikian pada Fariz,” kata Vania.
“Setiap orang punya masa lalu yang berbeda. Setiap orang memiliki sejarah hidup masing-masing, tapi semua orang punya hak buat jadi oreng sukses. Masa laluku adalah milikku, masa lalumu adalah milikmu, tapi kesuksesan adalah milik kita bersama. Benar begitu Vania?” Ujar Hisyam pada Vania dan sahabat yang duduk di sampingnya.
“Bener banget, Syam. Yang penting belajar dari apa yang sudah terjadi untuk dipetik sebagai pelajaran hidup yang berharga”, kata Rifqi.
“Ya memang benar, syam. Hmm,, yang jadi pikiran aku, apakah nanti Fariz mau memaafkan aku? Aku malu syam, aku malu qi..:, kata Vania dengan nada lirih.
“Tenang saja Vania, aku rasa Fariz itu orangnya pemaaf. Apalagi jika kamu pinya itikad baik untuk minta maaf padanya. Pokoknya niatmu benar, Van”, sambung Hisyam untuk menenangkanku.
“Ya Vania, tenang saja! Masa seorang Vania memiliki mental gembus. Ditekan sedikit saja sudah langsung cekung hahaaaa”, kelakar Rifqi yang membuat suasana menjadi cair.
“Hahaahayyy..”, semua tertawa
***
Pagi yang ceria, awan biru nan cerah. Tak sedikit pun kabut hitam terlihat dalam pandangan mata. Hati yang berbinar membawa langkah kaki dengan pasti dan selalu menebar senyum pada burung yang bersiul merdu, dedaunan yang rindang, dan awan yang memberikan kecerahan. Kata Andrea Hirata, “Siapa yang menebar senyum, dialah yang menuai cinta.”
Dengan kemantapan hati, kuberanikan diri untuk menghadiri acara Reuni Alumnus SMP. Rasa resah tetap melekat di benak, tapi saat kuingat perkataan Hisyam dan Rifqi, aku menjadi yakin untuk hadir di acara tersebut.
Sampai di sebuah gedung pertemuan acara reuni, tiba-tiba hati Vania bergejolak, seakanakan melawan dan memusnahkan percaya dirinya secara perlahan. Rasa berdegup kencang semakin menjadi.
Gugup dan canggung saat menapaki langkah demi langkah memasuki pintu masuk. Berdebar-debar menghalangi niatku untuk masuk, tapi ketika kulihat dari sahabat-sahabat dekatku dari kejauhan, rasa galau seketika musnah.
Langkah kaki semakin yakin, kuberjalan menghampiri mereka. Belum sampai di kerumunan mereka, Siska dan lainnya menghampiriku dengan sapaan hangat. Kami saling merangkul erat untuk melepas rindu dan menebus rasa rindu yang telah lama belum terobati dan terpendam di hati.
Ketika kumelangkah menuju tempat duduk untuk berbincang-bincang dengan kawanku yang lain tiba-tiba langkah kaki ini berhenti kaku seolah-olah memaksakanku untuk berdiam diri agar tidak legi melanjutkan langkah kaki ini. Semua itu terjadi karena kumelihat seseorang yang membuatku merasa bersalah dan malu.
Sejauh mata memandang, rasa takjup terhadap ciptaan sang Pencipta begitu bermakna dan berbicara raut wajahnya, postur tubuhnya, sorotan mata yang begitu tajam, idiolek atau gaya dia dalam bicara semua itu mengingatkanku untuk kembali pada masa lalu.
Dia begitu tampak berbeda. Dia bukan lagi seperti Fariz yang dulu kukenal. Rasa tertegun mengisyaratkan hati yang tadinya beku menjadi leleh seketika tatkala kumelihatnya dari kejauhan.
“Vania…Vania..”, suara itu tiba-tiba mengacaukan lamunanku dan menyadarkanku kembali.
Kaget rasanya ketika kutengok dan kucari di mana datangnya sumber suara itu? siapa yang menyebut namaku tadi? Rasa penasaran mulai menyerang pikiranku tak tentu arah.
Tak kusadari ternyata sosok yang memanggil namaku tadi duduk di sebelahku. Sementara aku berdiri kaku di posisi semula. Mungkin karena grogi dan virus mati gaya buatku salah tingkah dan kaku.
“Diakah yang memanggil namaku? Lalu kenapa dia tiba-tiba berada di sampingku?” ujar Vania bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
“Hallo Vania.. kenapa berdiri saja? Mari duduk!” ajak Fariz padaku.
“Apa?? Fariz bicara padaku? Dia mengajakku untuk duduk di sampingnya. Sepertinya dia tidak sedikit pun memendam kebencian padaku. Syukurlah.. mungkin perasaanku saja”, kata Vania dengan hati lega dalam batinnya.
“Vania apa kabar?”, Tanya dia mengejutkanku.
“Hmm eh..eh..oh.. duwh ma’af kok jadi salah tingkah begini hehe Alhamdulillah baik-baik saja”, ujar Vania sembari duduk dan mengatur nafas agar tidak nervous lagi.
“Syukurlah”, sahut dia
“o ya, kamu sendiri bagaimana?”, katu menyambung pembicaraan
“Kabarku Alhamdulillah baik juga”
Entah mengapa semua rasa yang telah buatku tersiksa ketika mendengar namanya menjadi sirna saat aku duduk di sampingnya. Perasaan negatif yang dulu pernah ada menjadi berubah, aku tak lagi membencinya.
Ketika sosok itu datang, tak kusadari jika dia menjadi inspirasi buatku. Dia juga telah banyak memberi nasehat, berbagi pengalaman saat dia berada di pondok pesantren, juga berbagi ilmu agama. Aku sadari, jika hidup itu penuh dengan teka-teki. Tak pernah kita tahu jika kita akan menjadi apa, tapi kita hanya dapat berusha untuk menjadi yang kita harapkan.



-------




0 komentar:

Post a Comment

Kelas Bahasa Indonesia. Powered by Blogger.
CONTOH CERPEN REMAJA "KETIKA SOSOK ITU DATANG"